Senin, 27 Januari 2020

Cara mengubah rasa menjadi devisa


Dinamika kaula muda memang tak pernah ada habisnya. Masa- masa SMA sampai bangku kuliah merupakan masa yang menghasilkan berjuta kisah. Ada suka, ada duka dan berbagai rasa yang tersaji dalam kehidupan para remaja. Tak jarang, rasa yang dialami para remaja sangat mempengaruhi perilakunya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tidak sulit kita menemukan berita-berita di internet, media cetak maupun media elektronik yang mengabarkan terjadinya bunuh diri yang dilakukan remaja hanya karena motif cinta. Kita juga tahu, bahwa secara psikologis para remaja akan berada dalam titik top up semangat ketika merasa rasa cintanya tersalurkan. Tentu naik turunnya fluktuasi semangat para remaja merupakan hal yang lumrah mengingat memang kapasitas daya fikir yang masih labil.

Tak salah memang jika para remaja mengekspresikan seluruh rasa di hatinya dengan cara yang mereka sukai. Namun, alangkah lebih baik jika potensi ini dimaksimalkan menjadi pundi-pundi rupiah yang juga bisa menjadi tambahan uang saku sebagai bekal di kampus atau sekolah. Bagaimana caranya? Tentu banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi potensi ini dan dirubah menjadi tambahan bekal.

1. Menjadi kontributor situs kepenulisan online
Dewasa ini ada banyak situs berita yang memberikan akses menulis kepada para pembacanya. Sebut saja Detik.com dan beragam situs lain. Kita bisa menyajikan rasa cinta, empati, bahkan benci baik kepada orang di sekitar kita, artis, tokoh politik dan orang-orang penting lain dalam bentuk tulisan. Situs kepenulisan itu sendiri sedikitnya terbagi 2 bagian dalam cara memberi benefit kepada para penulis. Pertama, ada yang memakai cara seleksi kemudian pemberian poin atau hadiah langsung kepada kontributor yang terpilih. Ada juga yang tidak memakai sistem seleksi (semua karya bisa masuk) dan perolehan benefit sesuai jumlah view dan komen para pembaca.

2. Menerbitkan karya sendiri
Tak sedikit para remaja yang sering menumpahkan perasaannya lewat karya yang ditulis dalam bentuk puisi, cerpen, novel, maupun karya fiksi lainnya. Tentu menjadi kemubadziran tersendiri jika karya-karya ini dibiarkan begitu saja. Kita bisa mengumpulkan karya karya kita menjadi sebuah buku yang tentu memiliki nilai jual jika diterbitkan. Timbul pertanyaan darimana kita bisa mengajukan penerbitan karya kita? Tentu kita tak perlu bingung dalam mencari penerbit. Jika kita malas untuk mencari penerbit konvensional, kita bisa mencari para penerbit online yang biasa mempromosikan jasa penerbitannya lewat media sosial. 

Terakhir, sebagai generasi muda yang hidup di era revolusi industri 4.0, kita harus secermat mungkin memanfaatkan peluang menjadi uang. Untuk para kaula muda, teruslah berkarya dan jangan lewatkan masa mudamu tanpa diisi oleh hal-hal yang bermanfaat.